on Rabu, 14 September 2011
Rasulullah pada suatu waktu pernah berkisah. Pada zaman
sebelum kalian, pernah ada seorang raja yang amat dzalim.
Hampir setiap orang pernah merasakan kezalimannya itu.
Pada suatu ketika, raja zalim ini tertimpa penyakit yang
sangat berat. Maka seluruh tabib yang ada pada kerajaan itu
dikumpulkan. Dibawah ancaman pedang, mereka disuruh untuk
menyembuhkannya. Namun sayangnya tidak ada satu tabib pun
yang mampu menyembuhkannya.

Hingga akhirnya ada seorang Rahib yang mengatakan bahwa penyakit
sang raja itu hanya dapat disembuhkan dengan memakan sejenis
ikan tertentu, yang sayangnya saat ini bukanlah musimnya ikan
itu muncul ke permukaan. Betapa gembiranya raja mendengar kabar
ini. Meskipun raja menyadari bahwa saat ini bukanlah musim ikan
itu muncul kepermukaan namun disuruhnya juga semua orang untuk
mencari ikan itu. Aneh bin ajaib.... walaupun belum musimnya,
ternyata ikan itu sangatlah mudah ditemukan. Sehingga akhirnya
sembuhlah raja itu dari penyakitnya.

Di lain waktu dan tempat, ada seorang raja yang amat terkenal
kebijakannya. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya. Pada suatu
ketika, raja yang bijaksana itu jatuh sakit. Dan ternyata
kesimpulan para tabib sama, yaitu obatnya adalah sejenis ikan
tertentu yang saat ini sangat banyak terdapat di permukaan laut.
Karena itu mereka sangat optimis rajanya akan segera pulih kembali.

Tapi apa yang terjadi? Ikan yang seharusnya  banyak dijumpai di
permukaan laut itu, tidak ada satu pun yang nampak..! Walaupun
pihak kerajaan telah mengirimkan  para ahli selamnya, tetap saja
ikan itu tidak berhasil diketemukan. Sehingga akhirnya raja yang
bijaksana itu pun mangkat...

Dikisahkan para malaikat pun kebingungan dengan kejadian itu.
Akhirnya mereka menghadap Tuhan dan bertanya, "Ya Tuhan kami, apa
sebabnya Engkau menggiring ikan-ikan itu ke permukaan sehingga
raja yang zalim itu selamat;
sementara pada waktu raja yang bijaksana itu sakit, Engkau
menyembunyikan ikan-ikan itu ke dasar laut sehingga akhirnya
raja yang baik itu meninggal?"

Tuhan pun berfirman, "Wahai para malaikat-Ku, sesungguhnya raja
yang zalim itu pernah berbuat suatu kebaikan. Karena itu Aku
balas kebaikannya itu, sehingga pada waktu dia datang menghadap-Ku,
tidak ada lagi kebaikan sedikitpun yang dibawanya. Dan Aku akan
tempatkan ia pada neraka yang paling bawah !

Sementara raja yang baik itu pernah berbuat salah kepada-Ku,
karena itu Aku hukum dia dengan menyembunyikan ikan-ikan itu,
sehingga nanti dia akan datang menghadap-Ku dengan seluruh
kebaikannya tanpa ada sedikit pun dosa padanya, karena hukuman
atas dosanya telah Kutunaikan seluruhnya di dunia!"

Kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari kisah bersayap ini.

Pelajaran pertama adalah: Ada kesalahan yang hukumannya langsung
ditunaikan Allah di dunia ini juga; sehingga dengan demikian di
akhirat nanti dosa itu tidak diperhitungkan-Nya lagi. Keyakinan
hal ini dapat menguatkan iman kita bila sedang tertimpa musibah.

Pelajaran kedua adalah: Bila kita tidak pernah tertimpa musibah,
jangan terlena. Jangan-jangan Allah 'menghabiskan' tabungan
kebaikan kita. Keyakinan akan hal ini dapat menjaga kita untuk
tidak terbuai dengan lezatnya kenikmatan duniawi sehingga
melupakan urusan ukhrowi.

Pelajaran ketiga adalah: Musibah yang menimpa seseorang belum
tentu karena orang itu telah berbuat kekeliruan. Keyakinan ini
akan dapat mencegah kita untuk tidak berprasangka buruk
menyalahkannya, justru yang timbul adalah keinginan untuk membantu
meringankan penderitaannya.

Pelajaran keempat adalah: Siapa yang tahu maksud Allah ?

( kisah diatas diambil dari buku " tutur bersayap ")
Hikmah yang dapat di peroleh dari wudhu (seperti diuraikan Imam Al-Ghazali dalam bukunya "Ihya Ulumuddin") : Mudah-mudahan Allah swt selalu mencucurkan rahmat-Nya. Banyak di antara kita yang tidak sadar akan hakikat bahwa setiap yang dituntut dalam Islam mempunyai hikmahnya yang tersendiri.

· Ketika berkumur, berniatlah kamu dengan, "Ya Allah ampunilah dosa mulut dan lidahku ini " Penjelasan : Kita hari-hari bercakap benda-benda yang tak Berfaedah.

· Ketika membasuh muka, berniatlah kamu dengan, "Ya Allah,putihkanlah mukaku di akhirat kelak, Janganlah Kau hitamkan muka ku ini". Penjelasan : Ahli syurga mukanya putih berseri-seri.
· Ketika membasuh tangan kanan, berniatlah kamu dengan, "Ya Allah, berikanlah hisab-hisab ku di tangan kanan ku ini" Penjelasan: Ahli syurga diberikan hisab-hisabnya di tangan kanan

· Ketika membasuh tangan kiri, berniatlah kamu dengan, "Ya Allah,janganlah Kau berikan hisab-hisab ku di tangan kiriku ini". Penjelasan : Ahli neraka diberikan hisab-hisabnya di tangan kiri

· Ketika membasuh kepala, berniatlah kamu dengan,"Ya Allah,lindungilah daku dari terik matahari di padang Masyar dengan ArasyMu" Penjelasan : Panas di Padang Masyar macam matahari sejengkal di atas kepala.

· Ketika membasuh telinga, berniatlah kamu dengan,"Ya Allah,ampunilah dosa telinga ku ini" Penjelasan : Hari-hari mendengar orang mengumpat, memfitnah, mendengar lagu2 berunsur maksiat.

· Ketika membasuh kaki kanan, berniatlah kamu dengan."Ya Allah, permudahkan-lah aku melintasi titian Siratul Mustaqqim". Penjelasan : Ahli syurga melintasi titian dengan pantas sekali.

· Ketika membasuh kaki kiri, berniatlah kamu Dengan,"Ya Allah,bawakanlah daku pergi ke masjid-masjid, surau-surau dan bukan tempat-tempat maksiat" Penjelasan : Qada' dan Qadar kita di tangan Allah.

Pernah kita terfikir mengapa kita mengambil wudhu sedemikian rupa? Pernah kita terfikir segala hikmah yang kita peroleh dalam menghayati Islam? Pernah kita terfikir mengapa Allah lahirkan kita sebagai umat Islam? Bersyukurlah dan bertaubat selalu.
Ramadhan Bulan Utama

Memang benar, bulan Ramadhan adalah bulan yang setiap detik, menit, jam, dan hari-harinya penuh dengan keutamaan. Di antara keutamaan-keutamaan tersebut adalah: Pertama: Ramadhan membentuk pribadi Mukmin yang taat secara total kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dalam seluruh perkara yang diperintahkan ataupun yang dilarang-Nya tanpa ada keraguan di dalam hatinya. Ia sepenuh hati menjalankan Islam secara kaffâh (menyeluruh) baik dalam masalah akidah maupun syariat seperti ibadah, makan, minum, berpakaian, hubungan sosial, politik, ekonomi, budaya, pemerintahan, dan lain sebagai-nya. 

Mereka siap untuk mengikuti wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dengan ikhlas dan tawakal. Kedua, pada sisi lain, pada bulan Ramadhan, Allah SWT menurunkan wahyu berupa al-Quran pertama kali. Wahyu inilah yang merupakan sumber hukum untuk dijadikan pemimpin dan pemandu kehidupan. Dengan tegas, Allah SWT berfirman: Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia, penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu (bayyinât), dan pembeda (furqan) (antara yang haq dan yang batil).” (TQS al-Baqarah [2]: 185). Ayat ini menjelaskan bahwa al-Quran diturunkan oleh Allah swt. sebagai petunjuk bagi manusia yang mengimaninya, dalil (argumentasi) yang jelas dan tegas bagi mereka yang memahaminya, serta pembeda antara kebenaran dan kebatilan (halal dan haram). (Lihat: Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, I, halaman 269).

Al-Quran bukanlah merupakan kitab kumpulan pengetahuan semata, melainkan merupakan petunjuk hidup bagi manusia. Al-Quran tidak hanya sekadar untuk dibaca dan dihapalkan saja, melainkan harus dipahami dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Allah SWT berfirman:
Apa saja yang diperintahkan oleh Rasul, ambillah; apa saja yang dilarangnya, tinggalkanlah. (TQS al-Hasyr [59]: 7). Singkatnya, setiap hukum yang terdapat dalam al-Quran mutlak harus dijalankan, baik terasa berat maupun terasa ringan. Yang tertanam dalam hati dan pikiran kita adalah “Kami mendengar dan kami patuh!” Begitulah prinsip yang harus menjadi pegangan kita. Alangkah ruginya orang yang memahami al-Quran tetapi tidak mengamalkannya. Orang seperti itu laksana pohon besar yang rimbun dengan dedaunan hijau nan lebat tetapi tidak menghasilkan buah sama sekali.

Jadi, pada bulan Ramadhan Allah bukan sekadar memerintahkan puasa agar kita bertakwa, tetapi juga menurunkan al-Quran sebagai sumber aturan untuk mencapai ketakwaan tersebut.
Memang, tidak setiap orang akan mendapatkan petunjuk dari sisi Allah. Hanya orang-orang yang beriman kepada-Nyalah yang akan dituntun dan ditunjuki sehingga dia selamat di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman: Kitab (al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (TQS. al-Baqarah [2]: 2). Artinya, hanya orang-orang yang memelihara dirinya dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dalam seluruh aspek kehidupannyalah yang akan diberikan petunjuk oleh Allah.

Ketiga, sungguh Allah SWT Mahaadil, Mahabijak, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang. Dalam bulan Ramadhan, pintu ampunan dibuka oleh Allah selebar-lebarnya, setan-setan dibelenggu agar tidak bisa menggoda manusia untuk berbuat mungkar, pintu-pintu surga dibuka lebar-lebar, dan kenikmatan Allah dicurahkan seluruhnya. Dalam bulan ini juga terdapat satu malam yang lebih baik dari pada 1000 bulan. Dialah malam Lailatulqadar. Pada malam tersebut, untuk pertama kalinya, al-Quran diturunkan kepada Rasulullah saw. sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, bukan hanya bagi kaum Muslim saja.

Hakikat Menundukkan Hawa Nafsu

Biasanya, sering kita mengatakan atau mendengar bahwa shaum berfungsi untuk menundukkan hawa nafsu jelek kita. Hanya saja, yang dimaksud sekadar menahan makan dan minum, tidak melakukan judi, tidak bertengkar, tidak menggunjing, atau aktivitas lain yang sifatnya moralitas semata. Kalaupun faktanya demikian, berarti telah terjadi penyempitan makna dari pengertian menundukkan hawa nafsu itu sendiri. Allah SWT berfirman: Tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran dan al-Hadis) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (TQS an-Najm [53]: 3-4). Katakanlah (hai Muhammad), “Sesungguhnya Aku hanya memberi peringatan kepada kalian dengan wahyu.” (TQS al-Anbiya [21]: 45). 

Dalam ayat di atas, Allah SWT secara tegas menjelaskan bahwa hawa nafsu dan wahyu adalah saling bertolak belakang. Artinya, hawa nafsu bertentangan dengan wahyu. Kalau wahyu diartikan sebagai segala sesuatu yang datang dari Allah SWT, maka hawa nafsu adalah sebaliknya, yaitu segala sesuatu yang datang dari manusia. Oleh karena itu, hawa nafsu tidak hanya terbatas pada aspek moralitas yang salah saja, tetapi juga seluruh aktivitas yang keliru yang bersumber dari diri manusia sendiri. Karena itu, ketika bulan Ramadhan dikatakan sebagai bulan menundukkan hawa nafsu, maka yang seharusnya terbayang dalam benak kita adalah kita menundukkan hawa nafsu kita pada kehendak wahyu sehingga kita tidak akan melakukan seluruh aktivitas-bukan sekadar aspek moralitas semata-yang dilarang oleh wahyu (al-Quran dan al-Hadis). Artinya, selain kita meninggalkan judi, kita juga harus meninggalkan aktivitas menghalang-halangi atau bahkan menekan dakwah Islam. 

Selain kita meninggalkan mengunjing orang lain, kita juga harus meninggalkan upaya mempropagandakan sekularisme, nasionalisme, paham kebebasan, penyamaan agama, kapitalisme, sosialisme, komunisme, demokrasi, dan pahampaham sesat lainnya yang bertentangan dengan paham Islam. Kita pun berusaha untuk tidak melakukan praktik riba, bermuamalah ekonomi secara kapitalis, berpolitik secara machiavelis, bernegara tanpa undang-undang al-Quran dan al-Hadis, mempertahankan hukum kufur, berinteraksi dalam masyarakat tanpa patokan-patokan sistem sosial kemasyarakatan secara islami, serta menjalani seluruh kehidupan tanpa berdasarkan syariat Islam. Allah SWT berfirman: Siapa saja yang menjadikan selain Islam sebagai dîn (agama, keyakinan, ideologi) maka tidak akan diterima apa pun darinya dan di akhirat kelak dia termasuk orang yang merugi. (TQS Ali Imran [3]: 85)Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah? (TQS al-Maidah [5]: 50)Dari dua ayat di atas, tampak jelas bahwa kita diminta untuk berhukum hanya pada apa yang telah diwahyukan oleh Allah seluruhnya, bukan sepotong-sepotong. Itulah hakikat sebenarnya dari upaya menundukkan hawa nafsu. Apabila kita telah melaksanakan aktivitas tersebut, insya Allah kita akan terkategori sebagai manusia yang benar-benar bertakwa sebagaimana firman Allah: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (TQS al-Baqarah [2]: 183).

Hubungan Ketakwaan dengan al-Quran

Bulan Ramadhan adalah bulan takwa dan bulan turunnya al-Quran (Lihat: QS al-Baqarah [2] ayat 185 dan 183). Siapa pun yang mengkaji al-Quran dengan baik akan menyimpulkan bahwa orang yang bertakwa hidupnya akan senantiasa dipimpin oleh syariat Allah (al-Quran). Allah SWT berfirman: Alif lâm mîm. Inilah Kitab (al-Quran), tidak ada keraguan padanya, sebagai petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (TQS al-Baqarah [2]: 1-2). Berdasarkan ayat ini, orang yang bertakwa akan selalu menjadikan al-Quran sebagai cahaya dan way of life (petunjuk hidup) dalam menyelesaikan problematika hidupnya dan manusia sekitarnya. Dalam ayat lain, Allah SWT mewahyukan: Al-Quran itu adalah kitab yang diberkati yang Kami turunkan. Karena itu, ikutilah dia dan bertakwalah agar kalian diberi rahmat. (TQS al-An’am [6]: 155). Dalam ayat di atas, Allah lebih mempertegas penjelasannya, betapa mereka yang bertakwa akan senantiasa mengikuti apa saja yang diwahyukan oleh Allah dalam al-Quran maupun as-Sunnah.

Khatimah

Bulan Ramadhan merupakan bulan turunnya al-Quran. Pada zaman Jahiliah dulu, dengan bermodal al-Quran-lah Rasulullah saw. membangkitkan manusia dari kejahiliahan menjadi umat yang mulia dengan diterangi oleh cahaya Islam. Dengan al-Quran itu pulalah, beliau beserta para sahabatnya menyelesaikan persoalan di antara mereka sendiri maupun antar mereka dan kaum munafik/kafir baik yang ada di dalam maupun yang berada di luar Daulah Islamiyah, menerapkan keadilan di tengah-tengah mereka, dan menunjuki manusia ke jalan yang terang-benderang.

Dalam bentangan waktu 13 abad, umat Islam senantiasa berada (pada saat Ramadhan) dalam keadaan menerapkan Islam di bawah satu komando yaitu seorang khalifah. Pada saat ini pun umat Islam tengah berada dalam bulan suci Ramadhan. Namun, berbeda dengan bulan suci yang terdahulu, saat sekarang hukum-hukum Islam telah dicampakkan oleh umat Islam sendiri dan diganti dengan sistem hukum kufur yang lain. Umat pun pada saat ini di seluruh dunia tidak lagi dalam satu kepemimpinan.
Jika demikian, belum tibakah saatnya umat Islam untuk bersatu memperjuangkan dan menegakkan hukum Islam, padahal Ramadhan datang setiap tahun?

Sumber : www.al-islam.or.id
Apabila kita memperkatakan berkenaan soal kepimpinan sebagai amanah, maka tidak dapat tidak kita harus memperkatakan berkenaan amanah pertama yang diamanahkan oleh allah kepada manusia di muka bumi ini iaitu sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-ahzab - 72 ; Maksudnya : Sesungguhnya kami telah menawarkan amanah ini kepada langit dan bumi dan juga gunung-ganang, tetapi mereka enggan memikulnya lantaran takut akan mengkhianatinya. Lalu dipikul oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.

Secara umumnya ayat ini memberi gambaran yang amat jelas bahawa amanah sebagai khalifah di muka bumi ini adalah satu tugas yang amat berat sehingga tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi serta bukit-bukau dan gunung-ganang. Walaupun dalam banyak ayat lain yang menjelaskan tentang keistimewaan manusia tetapi dalam ayat ini allah menyifatkan manusia sebagai makhluk yang menzalimi diri sendiri dan sangat jahil.


Oleh sebab menyedari hakikat itulah agaknya kenapa perlantikan sebagai khalifah ini dipersoalkan oleh malaikat sebagaimana yang telah diceritakan oleh allah dalam surah al-baqarah ayat 30 : Maksudnya : Apabila tuhan berfirman kepada malaikat ; sesungguhnya aku hendak menjadikan di muka bumi itu khalifah. Mereka berkata, apakah kamu akan menjadikan khalifah di sana orang yang akan membuat kerosakan padanya dan menumpahkan darah sesama mereka. Sedangkan kami senantiasa bertasbih dan memuji-muji engkau dan mensucikan engkau. Lalu allah berfirman : “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Ayat ini jelas menunjukkan bahawa perlantikan manusia sebagai pemimpin di muka bumi seterusnya memegang amanah sebagai khalifah alalh di muka bumi ini sangatlah meragukan. Ini disebabkan manusia mempunyai kecenderungan buruk yang berasaskan kepada hawa nafsu.


Dalam hal ini allah juga tidak menolak dan menafikan telahan malaikat tersebut. Cuma allah menyebutkan bahawa ada tujuan lain yang lebih besar daripada bertasbih dan membesarkan allah yang perlu dipikul iaitu mengimarahkan muka bumi ini. Maka nyatalah bahawa malaikat sekali-kali tidak mampu untuk memikul amanah ini.amanah bolehlah ditafsirkan sebagai satu tanggungjawab yang akan dipersoalkan di akhirat kelak. Dari segi bahasanya ia memberi erti yang bertentangan dengan makna `khianat’ .


Mengikut bahasa biasa khianat boleh disama ertikan dengan pecah amanah. Konsep amanah sebagai tanggungjawab yang akan dipersoalkan ini boleh difahami dari hadith yang kita rasulullah s.a.w : Maksudnya : kesemua daripada kamu adalah pemimpin dan kesemua kamu akan dipertanggungjawabkan tentang orang yang di bawah kepimpinannya.


Oleh yang demikian, secara umumnya, dapat difahami bahawa dari perspektif islam kepimpinan sebenarnya bukanlah suatu yang perlu dicari dan direbut-rebutkan. Ia adalah satu beban yang amat berat yang seharusnya dielakkan sadaya mungkin. Sejarah telah menunjukkan bukti di mana rsulullah s.a.w sendiri pernah menolak permintaan bapa saudaranya ibnu abbas supaya dilantik menjadi gabenor. Malah baginda pernah bersabda kepada sahabat karibnya abu dzar mengenai kepimpinan dengan sabdanya :Ia adalah satu amanah. Di hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan.


Antara amanah dan tanggungjawab yang paling berat untuk dipikul adalah untuk menjalankan keadilan dan tidak membuat keputusan berdasarkan hawa nafsu. Nabi daud sendiri pernah diperingatkan oleh allah mengenai penyelewengan hawa nafsu ketika dilantik sebagai nabi . Allah s.w.t. berfirman dalam surah shaad ayat 26 : Maksudnya : Wahai Daud, sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi. Maka berilah keputusan antara manusia dengan adil dan jangan mengikut hawa nafsu kerana ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.


Sebagai contoh, cuba kita teliti ucapan dasar yang telah dibuat oleh khalifah Islam pertama Saidina Abu Bakar As-Siddiq ketika mula-mula dilantik sebagai khalifah : Maksudnya : “Wahai manusia, sesungguhnya aku telahpun dilantik sedangkan aku bukanlah yang terbaik di antara kamu. Jika sekiranya aku berbuat kebaikan maka bantulah aku. Jika sekiranya aku berbuat kejahatan maka perbaikilah aku. Kebenaran itu adalah amanah, dan pendustaan itu adalah pengkhianatan, maka orang yang lemah di sisi kamu adalahkuat di sisiku hingga aku kembalikan hak kepadanya insya Allah, dan orang yang kuat di sisimu adalah lemah di sisikuhingga aku ambil balik hak darinya insya Allah, janganlah seorang dari kamu meninggalkan jihad di jalan Allah, sesungguhnya tidak meninggalkan jihad oleh sesuatu kaum itu melainkan kaum itu akan ditimpakan kehinaan oleh Allah. Dan tidak tersebar kejahatan di kalangan sesuatu kaum itu melainkan allah akan meratakan balanya ke atas mereka. Bantulah aku selama mana aku taatkan Allah dan rasulnya, apabila aku derhaka kepada Allah dan rasulnya maka tiada lagi ketaatan bagiku. Maka tegakkanlah solat kamu, maka Allah akan merahmati kamu.”

Wallahuallam
Di dalam tafsir al-Manar dinyatakan bahawa Allah menjadikan berbagai-bagai ikatan di antara manusia sebagai alat berkasih sayang saling bantu-membantu bagi mendapatkan keuntungan dan menghapuskan bencana. Dan ikatan yang paling kuat ialah ikatan kekeluargaan. Di antara hubungan yang terkuat ialah hubungan anak dan ibu bapa. Dalam hal itu ibu bapa memang mengharapkan kejayaan untuk anaknya, maka pandangan anak terhadap ibubapa adalah amat mendalam. Oleh itu kasih sayang antara anak dan ibubapa tidak sepatutnya dirosakkan.

Ada kalanya penglibatan dan tanggungjawab ibu bapa di dalam masyarakat yang mempunyai taraf yang tinggi serta banyak wang menyebabkan mereka kurang bertanggungjawab secara terus dan hanya menyogokkan anak-anak dengan barang-barang dan membelikan apa sahaja yang difikirkan tanpa menilai erti kemesraan, melupakan kasih sayang yang sewajarnya. Sewajarnya segala aspek pemeliharaan, perlindungan dan pengesahan ibu bapa adalah penting di dalam melahirkan anak-anak yang bakal menjadi ahli masyarakat. Anak-anak yang kurang perlindungan seumpama anak yang terbiar tiada kawalan. Dan aspek terpenting di dalam membentuk disiplin anak-anak ialah peraturan, kemesraan dan hukuman. Namun jika terlalu dikenakan hukuman dan peraturan tanpa kemesraan, anak-anak tentunya tidak dapat berterus-terang dalam sesuatu hal atau masalah. Lantaran itu tidak mustahil anak-anak mula mencari sesuatu di luar atau bergaul dengan kumpulan dan kelompok tertentu seperti menagih dadah, sosial dan sebagainya yang dianggap sebagai penyelesai masalah serta memahami jiwanya. Demikian juga jika seseorang anak mendapat kemesraan yang berlebihan tanpa sebarang hukuman, maka tidak mustahil anak-anak ini juga akan menjadi terlalu manja dan mengharap.

Sebagai ibu bapa tentunya mengharap masa depan serta kariar anak-anak mereka adalah yang terbaik lantaran itu ibubapa akan memilih sesuatu yang terbaik pada pandangannya tanpa menghitung sama ada ianya sesuai ataupun tidak bagi anak-anaknya. Lazimnya anak-anak masa kini terlalu dikongkong dengan jadual pelajaran. Pulang dari sekolah mereka dihantar ke kelas tambahan kemudian ke kelas agama, ke kelas piano dan bermacam-macam lagi. Namun apa yang paling ideal bagi seorang anak ialah sajian pelajaran yang menceriakan hatinya yang membolehkan anak-anak merasa gembira aman tanpa rasa ada masaalah. Di dalam usaha untuk menanamkan roh keislaman di dalam jiwa anak-anak, ibu bapa seharusnya memahami runtunan dan kehendak jiwa mereka. Suatu penekanan sekatan, larangan yang dibuat secara mendadak tanpa dihalusi secara terperinchi mungkin akan memburukkan lagi keadaan. Lantaran itu anak-anak seharusnya diberi kebebasan untuk melakukan perkara yang tidak keterlaluan di samping menyarankan agar mereka berfikir di dalam membuat sebarang pertimbangan. Dalam hal ini perbincangan adalah sangat perlu.

Ibu bapa seharusnya mengorientasikan diri mereka dan mendidik mengikut ajaran Islam. Mereka perlu mendisiplinkan diri mereka sendiri supaya teguran dan ajaran akan benar-benar wujud dan berkesan. Wujudnya sikap anak-anak yang tidak menghormati ibu bapa adalah disebabkan ibubapa itu sendiri yang lemah peribadi. Rosak atau tidaknya akhlak anak-anak adalah bergantung kepada sejauh mana baik atau buruknya didikan yang diterima oleh mereka. Ini jelas sebagaimana yang disabda oleh Rasulullah s.a.w. bermaksud, “Anak yang dilahirkan ke dunia ini adalah bersih dan suci laksana kain putih dan terserahlah kepada penjaganya di dalam mencorakkan mereka samada mahu menjadikan seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Lelaki dan wanita adalah dua asbab yang mewujudkan zuriat. Kecuali tiga insan yang wujud mereka di dunia tanpa melalui dua asbab ini atau salah satunya. Pertama Nabi Adam as. Baginda wujud tanpa ibu dan juga bapa. Kedua Siti Hawa. Wujudnya tanpa melalui ibu, hanya bapa (pada pengistilahan sahaja. Maksudnya dari lelaki). Manakala yang ketiga ialah Nabi Isa as. Baginda wujud hanya melalui ibu, tanpa bapa. Selain ketiga-tiga mereka yang tersebut itu, semua manusia wujud atas dunia ini melalui ibu dan bapa. Dengan itu peranan anak terhadap kedua orang tua mereka adalah besar sekali.

Di dalam hal ini, agama Islam mengajar bahawa tanggungjawab anak terhadap kedua orang tuanya atau kedua ibu bapanya adalah sangat besar dan perlu dititikberatkan melebihi daripada segala-gala perkara. Melainkan yang bersifat penderhakaan terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya sehingga Islam mengancam sesiapa yang menderhakai ibu bapanya dengan bekaran api neraka. Syurga pula diletakkan di bawah telapak ibu, kenapa? Kerana besarnya kedudukan ibu pada pandangan Allah SWT terhadap seseorang anak. Keredhaan Allah terhadap seseorang anak hanyalah bergantung dari keredhaan kedua ibu bapanya.

Namun sebagaimana yang telah disebut di atas, bahawa ketaatan terhadap ibu bapa hanyalah sekadar dalam lingkungan batasan ketaatan terhadap Allah dan Rasul-Nya sahaja. Kalau ibu bapa menghendaki anaknya menderhakai Allah dan Rasul-Nya,pada ketika itu hilanglah kewajipan anak di dalam mentaati kedua ibu bapanya.Kenapa Islam sangat menekankan persoalan ketaatan anak-anak terhadap ibu bapa? Kenapa tidaknya, tanggungjawab ibu bapa terhadap anak-anak ketika anak-anakmasih kecil dan memerlukan tempat pergantungan, di kala itu betapa susah payahdan jerit lelahnya ibu bapa di dalam melayani keperluan anak-anak mereka. Sebab itulah Allah SWT mela-rang keras setiap anak daripada bersikap kasar danbiadab terhadap kedua ibu bapa terutamanya setelah kedua-dua nya meningkat tua.Firman Allah di dalam al-Quran surah Isra’ ayat 23 - 24 bermaksud: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan agar kamu berbuat baik terhadap kedua ibu bapa kamu dengan sebaik-baiknya.

Jika salah seorang daripadanya sampai umur lanjut dalam pemeliharaanmu,janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada ke-dua-duanya perkataan ‘Ah!’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Kasihanilah mereka berduasebagaimana mereka berdua telah mendidik aku sejak aku kecil lagi.” Orang-orang yang fasik tetapi sangat memulia dan menghormati ibu bapanya adalahlebih dikasihi oleh Allah daripada orang-orang yang terkenal banyak ibadatnya tetapimenderhakai ibu bapa mereka. Kenapa? Bukankah berapa banyak orang-orang yang melanggar hak Allah tetapi mendapatpengampunan? Tetapi tidak pada orang-orang yang memperkosa hak merekaterhadap ibu bapa mereka.

Allah SWT pasti tidak akan mengampuni dosaanak-anak yang menyakiti ibu bapa se-hingga ibu bapa sendiri yang memaafkannya.Lihat pada cerita seorang sahabat Rasulullah yang bernama Alqamah. Ketika dia dalam sakaratul maut, Rasulullah hampir-hampir membakarnya kerana dia gagal mengucap kalimah tauhid pada saat itu. Setelah diselidiki ternyata Alqamah yang terkenal banyak beribadah, sembahyang malam dan berpuasa itu telah gagal menunaikan haknya terhadap ibunya yang telah tua. Mujurlah dia kemudiannya mendapat kemaafan daripada ibunya.

Berlainan dengan apa yang telah berlaku kepada seorang dari umat Nabi Isa as. Di mana setiap hari pemuda itu memandi, memberi makan dan menjaga dua ekor babi. Bila ditanya kenapakah dia menjaga babi-babi yang najis itu dengan begitu kasih sayang sekali? Pemuda itu menjawab, kerana kedua-dua ekor babi itu adalah sebenarnya dua ibu bapanya yang telah melakukan sesuatu dosa yang menyebabkan dikutuk oleh Allah dan menjadi babi. Kerana menunaikan hak anak terhadap kedua ibubapa, pemuda itu telah memberi khidmatnya sehingga kerana itu telah memnyebabkan dia masuk syurga.

Pengorbanan kedua ibu bapa terhadap anak-anak tidak ada tolak bandingannya. Anak-anak dikandung oleh ibu dengan susah payahnya sebagaimana diceritakanoleh Allah SWT di dalam al-Quran surah Luqman ayat 14 bermaksud: Dan Kami amanatkan kepada manusia (agar menghormati dan memuliakan) terhadap kedua ibu bapanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah kesusahannya dan menyusuinya selama dua tahun. Bersyukurlahkepada-Ku dan kepada dua ibubapamu, dan kepada-Kulah kembalimu. Kemudian setelah besar mencapai usia remaja, ibu bapa memberi pelajaran secukupnya dengan harapan apabila benar-benar dewasa nanti akan menjadi manusia yang berilmu dan berguna di dalam masyarakat. Kenapakah setelah kedua-dua ibubapanya mencapai usia tua dan sampai giliran mereka pula untuk menjadi beban kepada anak-anak, ada setengah daripada anak-anak yang tergamak memperlakukan kedua-dua ibu bapanya itu (atau salah seorang daripada) mereka dengan cara yang tidak sepatutnya? Ada anak-anak yang menengking ibu mereka kerana melakukan sesuatu yang tidak berkenan di hati mereka. 

Mengapakah si anak tidak menghadapi telatah ibu mereka yang telah tua itu dengan tabah dan sabar? Sewajarnya anak-anak yang mula bosan terhadap telatah orang tua mereka membayangkan betapa susah dan payahnyakedua-dua ibu bapa mereka menjaga dirinya dan melayani telatah dan kerenahnyadi zaman kanak-kanak? Atau apakah si anak yang memperlihatkan sikap biadab terhadap ibu bapa merekakerana ingin membalas dendam terhadap perbuatan yang dianggap kejam yangdilakukan oleh orang tua mereka terhadap mereka ketika masih kecil dahulu? Dan setelah mereka dewasa, mereka mahu membalas dendam pula?

Alangkah malangnya ibu bapa yang mempunyai anak yang memiliki hati sebegini. Apakah kerana perbuatan orang tua yang mahu mengajar anaknya agar setelahdewasa menjadi manusia yang berakhlak mulia dianggap telah menganiayainya danbertindak kejam terhadap mereka? Sehingga mereka menunggu masa untuk membalas dendam setelah mereka dewasa dan ibu bapa mereka menjadi tua danlemah? Alangkah kejamnya manusia ini.Memang tidak dinafikan terhadap ibu bapa yang bertindak kejam terhadapanak-anak seperti melakukan penderaan yang menyeksakan sehingga boleh mengakibatkan kecederaan kepada si anak (dan sewajarnya ibu bapa sebegini menerima hukuman yang berat sesuai de-ngan perbuatan mereka terhadap anak mereka). Namun anak tetap dilarang untuk membalas perbuatan ibu bapa terhadapmereka itu. Dan anggaplah itu sebagai ujian ke atas diri mereka moga-moga denganujian yang seberat itu akan dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat kaliganda di akhirat nanti. Walau bagaimanapun Allah SWT melarang keras sebarang tindakan yang bolehmenyebabkan berlakunya penderhakaan terhadap ibu bapa. 

Tidak ada jalan untuk dijadikan alasan untuk membalas dendam terhadap ibu bapa. Sejahat-jahat ibu bapa masih tidak dapat untuk dibalasi jasa dan susah payah mereka terhadap anak-anak.Walaupun betapa kejamnya ibu bapa terhadap anak-anak, tetap akan membawa anak-anak ke hospital atau berjumpa bomoh untuk mengubati sakit si anak kalau si anak ditimpa sakit. Bukankah ini satu pengorbanan yang besar dan tergamakkah si anak apabila dewasa mahu bersikap kasar dan biadap terhadap orang-orang yangtelah menjaga mereka itu ketika kecil dahulu? Bagi orang-orang yang memahami nilai pengorbanan ibu bapa terhadap anak-anak, mereka sekali-kali tidak sanggup untuk menderhakai ibu bapa mereka sekalipunmereka telah diperlakukan dengan bermacam-macam kekejaman ketika kecil. Justeru itu, jasa-jasa ibu bapa dianggap oleh Allah SWT sebagai satu amal yang nilainya cukup besar dan tidak boleh dipandang mudah oleh anak kandung sendiri. Manakala bagi anak-anak yang menganggap jasa-jasa ibu bapa tidak lebih daripada tanggungjawab bagi setiap orang yang menjadi ibu dan bapa akan dicap oleh Allah sebagai manusia yang tidak memiliki budi yang mulia dan tidak tahu menilai sesuatu yang dinamakan budi. Dari itu wajar sekali manusia jenis ini tidak mendapat kere-dhaan Allah dan tempatnya di akhirat nanti ialah di neraka.
Diriwayatkan bahawa pada suatu hari Rasulullah S.A.W sedang duduk bersama para sahabat, kemudian datang pemuda Arab masuk ke dalam masjid dengan menangis. Apabila Rasulullah S..A.W melihat pemuda itu menangis maka baginda pun berkata, “Wahai orang muda kenapa kamu menangis?” Maka berkata orang muda itu, “Ya Rasulullah S.A.W, ayah saya telah meninggal dunia dan tidak ada kain kafan dan tidak ada orang yang hendak memandikannya.” Lalu Rasulullah S.A.W memerintahkan Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. ikut orang muda itu untuk melihat masalahnya. Setelah mengikut orang itu, maka Abu Bakar r.a dan Umar r.s. mendapati ayah orang mudah itu telah bertukar rupa menjadi babi hitam, maka mereka pun kembali dan memberitahu kepada Rasulullah S.A.W, “Ya Rasulullah S.A.W, kami lihat mayat ayah orang ini bertukar menjadi babi hutan yang hitam.” 

Kemudian Rasulullah S.A.W dan para sahabat pun pergi ke rumah orang muda dan baginda pun berdoa kepada Allah S.W.T, tiba-tiba mayat itu pun bertukar kepada bentuk manusia semula. Lalu Rasulullah S.A.W dan para sahabat menyembahyangkan mayat tersebut. Apabila mayat itu hendak dikebumikan, maka sekali lagi mayat itu berubah menjadi seperti babi hutan yang hitam, maka Rasulullah S.A.W pun bertanya kepada pemuda itu, “Wahai orang muda, apakah yang telah dilakukan oleh ayahmu sewaktu dia di dunia dulu?” Berkata orang muda itu, “Sebenarnya ayahku ini tidak mahu mengerjakan solat.” Kemudian Rasulullah S.A.W bersabda, “Wahai para sahabatku, lihatlah keadaan orang yang meninggalkan sembahyang. Di hari kiamat nanti akan dibangkitkan oleh Allah S.W.T seperti babi hutan yang hitam.”

Di zaman Abu Bakar r.a ada seorang lelaki yang meninggal dunia dan sewaktu mereka menyembahyanginya tiba-tiba kain kafan itu bergerak. Apabila mereka membuka kain kafan itu mereka melihat ada seekor ular sedang membelit leher mayat tersebut serta memakan daging dan menghisap darah mayat. Lalu mereka cuba membunuh ular itu. Apabila mereka cuba untuk membunuh ular itu, maka berkata ular tersebut, “Laa ilaaha illallahu Muhammadu Rasulullah, menagapakah kamu semua hendak membunuh aku? Aku tidak berdosa dan aku tidak bersalah. Allah S.W.T yang memerintahkan kepadaku supaya menyeksanya sehingga sampai hari kiamat.” Lalu para sahabat bertanya, “Apakah kesalahan yang telah dilakukan oleh mayat ini?” Berkata ular, “Dia telah melakukan tiga kesalahan, di antaranya :

1.Apabila dia mendengar azan, dia tidak mau datang untuk sembahyang
berjamaah.

2.Dia tidak mahu keluarkan zakat hartanya.

3.Dia tidak mahu mendengar nasihat para ulama. Maka inilah balasannya.”
Dari Tsumamah bin Abdullah, "Dahulu Anas bin Malik radhiyallahu ta'alaa anhu pernah bernafas di dalam bejana dua kali atau tiga kali, dan dia mengira Nabi sallallahu alaihi wa sallam pernah melakukan hal itu (HR. Bukhari, No. 5631)

Dari Abu Qatadah dan bapaknya, Rasulullah bersabda, "Apabila salah seorang diantara kalian minum, maka janganlah ia bernafas di bejana (gelas), dan jika salah seorang dari kalian kencing maka janganlah ia memegang dzakar (kemaluannya) dengan tangan kanannya, jika membersihkan maka jangan membersihkan dengan tangan kanannya (HR. Bukhari 5630)

Sebagian ulama mengatakan, "Larangan bernafas di dalam bejana ketika minum sama seperti larangan ketika makan dan minum, sebab hal itu bisa menyebabkan keluarnya ludah sehingga bisa mempengaruhi kebersihan air minum tersebut. Dan keadaan ini apabila dia makan dan minum dengan orang lain. Adapun bila ia makan sendirian atau bersama keluarganya atau dengan orang yang tidak terganggu dengan caramu tersebut, maka hal itu tidak mengapa." Aku ( Imam Ibn Hajar Al-Asqalani) berkata, "Dan yang lebih bagus adalah memberlakukan larangan hadits Nabi tersebut, sebab larangan itu bukan untuk menghormati orang yang layak dihormati ataupun untuk mendapat penghargaan dari orang lain.... Berkata Imam Al-Qurthubi, "Makna larangan itu adalah agar bejana dan air tersebut tidak tercemar dengan air ludah atau pun bau yang tidak sedap". Fat-hul Bari, 10/94.

Demikianlah penjelasan para ulama kita. Para pakar kontemporer pun telah berusaha mengorek hikmah atas larangan tersebut. Mereka mengatakan, "Ini adalah petunjuk yang indah yang diajarkan oleh Nabi kita Muhammad sallallahu alaihi wa sallam dalam menyempurnakan akhlaq. Dan apabila makan atau minum kemudian terpercik ludah keluar dari mulut kita, maka hal itu merupakan kekurangnya sopan santun kita, dan sebab munculnya sikap meremehkan, atau penghinaan. Dan Rasulullah adalah adalah penghulunya seluruh orang-orang yang santun dan pemimpinnya seluruh para pendidik.

Bernafas adalah aktivitas menghirup dan mengeluarkan udara; menghirup udara yang bersih lagi penuh dengan oksigen ke dalam paru-paru sehingga tubuh bisa beraktivitas sebagaimana mestinya; dan menghembuskan nafas adalah udara keluar dari paru-paru yang penuh dengan gas karbon dan sedikit oksigen, serta sebagian sisa-sisa tubuh yang beterbangan di dalam tubuh dan keluar melalui kedua paru-paru dalam bentuk gas. Gas-gas ini dalam persentase yang besar ketika angin dihembuskan, padanya terdapat sejumlah penyakit, seperti pada toksin air kencing ... Maka udara yang dihembuskan mengandung sisa-sisa tubuh yang berbentuk gas dengan sedikit oksigen. Dari hal ini kita mengetahui hikmah yang agung dari larangan Rasulullah; yaitu agar kita tidak bernafas ketika makan atau minum; akan tetapi yang dibenarkan adalah minum sebentar lalu diputus dengan bernafas di luar bejana, lalu minum kembali.

Rasulullah memberikan wejangan tentang awal yang bagus dalam perintahnya tentang memutus minum dengan bernafas sebentar-sebentar. Sebagimana sudah kita ketahui, bahwa seorang yang minum 1 gelas dalam satu kali minuman akan memaksa dirinya untuk menutup/menahan nafasnya hingga ia selesai minum. Yang demikian karena jalur yang dilalui oleh air dan makanan dan jalan yang dilalui oleh udara akan saling bertabrakan, sehingga tidak mungkin seseorang akan bisa makan atau minum sambil bernafas secara bersama-sama. Sehingga tidak bisa tidak, ia harus memutus salah satu dari keduanya. Dan ketika seseorang menutup/menahan nafasnya dalam waktu lama, maka udara di dalam paru-paru akan terblokir, maka ia akan menekan kedua dinding paru-paru, maka membesar dan berkuranglah kelenturannya setahap demi setahap. Dan gejala ini tidak akan terlihat dalam waktu yang singkat. Akan tetapi apabila seseorang membiasakan diri melakukan ini (minum dengan menghabiskan air dalam satu kali tenggakan) maka ia akan banyak sekali meminum air, seperti unta, dimana paru-parunya selalu terbuka.... Maka paru-paru akan menyempitkan nafasnya manakala ia sedikit minum air, maka kedua bibirnya kelu dan kaku, dan demikian juga dengan kukunya. Kemudian, kedua paru-parunya menekan jantung sehingga mengalami dis-fungsi jantung (gagal jantung), kemudian membalik ke hati, maka hati menjadi membesar (membengkak), kemudian sekujur tubuh akan menggembur. Dan Demikianlah keadaannya, sebab kedua paru-paru yang terbuka merupakan penyakit yang berbahaya, sampai para dokter pun menganggapnya lebih berbahaya daripada kanker tenggorokan.

Dan Nabi Sallallahu alaihi wassallam tidak menginginkan seorangpun dari ummatnya sampai menderita penyakit ini. Oleh karena itu, beliau menasihati ummatnya agar meminum air seteguk demi seteguk (antara dua tegukan dijeda dengan nafas), dan meminum air 1 gelas dengan 3 kali tegukan, sebab hal ini lebih memuaskan rasa dahaga dan lebih menyehatkan tubuh (Lihat Al-Haqa'iq Al-Thabiyyah fii Al-Islam, secara ringkas)


Sumber: Al-Arba'in Al-Ilmiah, Abdul Hamid Mahmud Thahmaaz